Pulau Hoga dan Kaledupa Surga Peneliti Laut

hoga

dok.sulung prasetyo
Selain berpasir putih, pesisir pulau Hoga di Wakatobi juga ada yang berupa karang tajam horizontal.

Kalau kita sempat pelesiran di daerah tenggara Sulawesi, jangan lupa singgahi Pulau Hoga dan Kaledupa, di Kepulauan Wakatobi. Selain bisa menyelam untuk kepentingan penelitian, kita juga bisa menyinggahi masjid tua, yang memiliki keunikan batu bertuliskan Nabi Muhammad SAW di pusat bangunannya.

Wakatobi yang merupakan kumpulan pulau bernama Wangi-wangi, Kaledupa, Tomian dan Binongko, sebenarnya dahulu bernama Kepulauan Tukang Besi. Pada tahun 1996, pulau ini baru diresmikan menjadi taman nasional laut dengan harapan dapat menjadi daerah pelestarian alam demi fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Selain Pulau Kaledupa dan Hoga (tak jauh dari Kaledupa) yang sempat saya kunjungi. Sebenarnya banyak daerah lain di Wakatobi ini yang memiliki potensi wisata menakjubkan. Seperti misalnya Wangi-wangi, dengan ibu kota Wanci, yang fasilitasnya lebih lengkap.

Kalau masalah menyelam, Binongko dan Tomian mungkin lebih hebat kedengarannya. Meskipun begitu, keindahan laut Pulau Kaledupa dengan Hoga resort-nya tidak bisa dibilang kalah.

Tidak salah bila Pulau Hoga dianggap surga bagi para peneliti biota lautan. Di daerah yang penuh dengan pasir putih dan kelapa ini, memang benar pulau impian bagi tiap pencinta lautan. Bahkan tak urung, Sudomo, yang mantan menteri zaman Orde Baru dulu mengungkapkan agar jangan mati dahulu, sebelum melihat pulau ini.

Saat sampai di pelabuhannya saja. Sudah terasa magisme keindahan pulau ini. Air laut yang terlihat jernih, menimbulkan bayang-bayang saat seekor ikan melintas. Bekejaran membawa pandangan mata bertumbuk dengan pasir empuk berwarna putih kuning, tertimpa sinar matahari redup.

Beberapa penjual kelapa terlihat menyunggingkan senyum. Tak terasa mengganggu, atau ada niatan untuk itu, seperti layaknya pedagang di tempat wisata lain. Semua terasa tenang, nyaman, sejuk disela angin yang bertiup perlahan.

Pilihan saya membawa hammock tidak salah kiranya. Ketika mencari-cari tempat untuk tambatan hammock, pandangan saya tertumbuk pada sebuah lodge berlantai papan. Untuk mengitarinya perlu puluhan langkah, hingga akhirnya saya menangkap sesosok tubuh manusia dari jendela yang berbentuk lebar. Seorang pria bule, yang akhirnya saya kenal bernama Kevin.

”Bisa sampai 400 orang peneliti yang memenuhi pulau ini pada saat peak season,” ucap Kevin, sambil terus-terusan membetulkan kacamata minus bulatnya.

Ia yang bertugas di sana sebagai instruktur selam. Yang menemani para peneliti tersebut selama tugas penelitian. ”Biasanya para mahasiswa peneliti itu datang pada bulan Juni hingga August,” tambahnya dengan bahasa Indonesia yang belepotan.

”Biasalah summer time,” gumamnya.

”Bagaimana bila saya datang untuk berwisata di sini,” tanya saya.

Ia hanya menggelengkan kepala, memberitahukan bahwa mereka tidak memiliki trip wisata.

Sementara Kevin kembali ke kamar leyeh-leyehnya, saya memutuskan menutup hammock dahulu dan mencari jalan-jalan baru di sana. Di belakang lodge saya temukan jalan semen yang kelihatannya masih baru. Beberapa ibu berpakaian sederhana tampak masuk menuju ke sana. Saya yang agak tertarik pada daerah baru, segera mengikuti langkah mereka.

Setelah berjalan sampai sepuluh menit, akhirnya saya temukan kembali pinggir laut. Namun, yang ini tak berpasir. Hanya ada karang-karang tajam. Mencuat membentuk garis horizontal dengan cacat gerusan di bagian bawahnya, sangat indah.

Banyak penginapan yang bentuknya menyerupai rumah-rumah adat Buton. Tampaknya, rumah-rumah tersebut tak berpenghuni. Ada kemungkinan pemilikinya bukan orang lokal atau memang disewakan. Pertanyaan itu tak berapa lama segera terjawab, ketika saya bertemu dengan Dudiarto, di sebuah cekungan berpasir. Tampaknya cekungan ini merupakan tempat berlabuh tersembunyi bagi para nelayan sekitar. Dudiarto yang datang bersama istrinya terlihat sibuk menurunkan jerigen-jerigen air. Yang ternyata untuk keperluan orang-orang di sana.

”Seharinya kalau untuk turis domestik kami memasang harga 25.000 rupiah,” kata Dudiarto. ”Itu dengan fasilitas kamar tidur dua dan air bersih tiap harinya,” tambah lelaki gemuk itu lagi.

Walah, ternyata mereka sudah mengerti tentang komersialisasi. Sekalian saja saya tanyakan, ”Apakah mereka punya trip bulan madu di sini?”.

Dengan sedikit mengedipkan mata ia hanya tersenyum kecil dan mengucapkan bahwa semua itu bisa diatur.

Masjid Tua

Dua hari berselang, setelah menikmati pasir putih dan lautan Hoga. Saya sempatkan juga melihat kehidupan di Kaledupa. Ternyata orang-orang di sana teramat religius. Mereka selalu menyebutkan sebuah masjid tua di kampung Ollo. Kata mereka masjid itu teramat bertuahnya, terletak di puncak bukit, dan merupakan satu-satunya peninggalan moyang mereka.

Dengan mengendarai pick up yang banyak berseliweran di sana. Saya capai juga bukit berisi masjid bertuah tersebut. Agak aneh pandangan mereka, melihat saya datang dengan ransel dan kamera. Tak terlalu lama mendaki kemudian saya temukan sebuah masjid dengan pondasi batu karang semua, dengan warna dominan hijau. Untuk masuk ke masjid ini, kita harus membungkuk dahulu, karena kecilnya pintu masuk ke dalam. Kemudian terhampar lantai luas dengan mimbar tua di ujungnya.

”Mimbar itu sudah ada semenjak masjid ini dibangun tahun 1401,” ucap penjaga masjid yang menemui saya.

Agak terhenyak juga mendengar lamanya masjid itu berdiri. Saya putuskan segera berjalan ke tengahnya. Dan benar saja, saya temukan sebuah batu bertuliskan nama Nabi Muhammad secara alami. Agak tak jelas memang, namun bisa segera diterka saat kita mendongakkan kepala. Karena di atas, di antara lembar kain lusuh berwarna putih, tertera huruf Arab bertulis Allah dan Muhammad.

Tinggalkan komentar