Menembus Udara Tipis

into-thin-air-978144720018501

Judul buku : Into Thin Air; Kisah Tragis Pendakian Everest
Penulis : Jon Krakuer
Penerbit : Qanita, Cetakan I, Mei 2004
Tebal : 584 halaman

Membaca buku ini seperti mempertanyakan kembali mengenai semangat hidup para petualang. Sekelompok kaum tersendiri, yang kadang memiliki pemikiran tak terungkap secara akal sehat. Menggeluti bagian-bagian paling berbahaya, yang lebih sering ditinggalkan manusia.

Samargatha atau Dewi Langit, itulah julukan yang diberikan orang-orang Sherpa untuk Everest. Para pendaki dan ahli geologi menganggap puncak tertinggi dunia itu tidak indah, terlalu besar, lebar dan kasar. Namun keanggunan arsitektural yang tidak dimiliki Everest diimbangi oleh massanya yang besar dan menakjubkan. Belum lagi kisah-kisah mengguncang tentang berbagai upaya penaklukannya yang memberikan reputasi sendiri. Meskipun sudah ditemukan tahun 1852, Everest baru dapat ditaklukan 101 tahun setelahnya. Itu juga melalui “serangan” yang berganti-ganti oleh 15 tim ekspedisi, serta menghilangkan 24 nyawa. Dan jumlah korban itu terus bertambah seiring dengan sejarah pendakiannya yang terus berlanjut hingga kini.

Melalui pengalamannya mendaki gunung ini tahun 1996, Jon Krakauer menulis petualangannya yang maha dahsyat. Dikatakan maha dahsyat, karena pada pendakian tahun itu jugalah terjadi peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah pendakian gunung Everest. 12 nyawa lenyap seketika hanya dalam hitungan hari. 16 tim pendaki yang lain juga mulai menyadari bahwa mereka bertarung dengan kematian kini. Tidak ada yang pernah menduga diantara mereka, bahwa tiap detik ternyata begitu berharganya di gunung ini.

Kematian Rob Hall dan Scott Fischer, para pemimpin pendakian komersial paling piawai pada masa itu, rasanya memang menelanjangi kita akan naluri para petualang tersebut. Mempertanyakan kembali, pada nurani kita, apakah tiap-tiap kematian tersebut memiliki arti. Diantara kebimbangan pada pilihan-pilihan yang menyulitkan. Memberi kaca diri pada kehidupan kita, bahwa segala sesuatu tidaklah perlu untuk ditakutkan.setiappilihan memiliki konsekwensi masing-masing. Dan sngat beruntung kitayang bisa memilih, walaupun itu dianggap salah.

Keberuntungan itulah juga yang kita miliki setelah membaca buku ini. Karena kita memiliki Jon Krakauer yang mau membagi pengalamannya, melalui tulisan-tulisannya. Ia yang juga wartawan pada majalah Outside, mampu menyajikan kepada kita,tiap-tiap langkah yang diperlukan seorang manusia untuk menggapai impiannya. Melukiskan watak berbagai orang-orang yang berada pada kejadian itu dengan sejelas-jelasnya. Dan merangkaikan kesemuanya dalamsebuah cerita yang membangun kesahajaan. Dan melahirkanpemikiran bahwa para petualang tersebut, bukanlah seseorang yang pergi dengan cuma-cuma.

Buku ini juga menghadirkan ketakutan-ketakutan yang kadang menghantui para petualang tersebut. Yang kadangkala makin membuat keras hati mereka, membentuk fanatisme buta yang tiada juntrungannya. Namun, setelah membaca buku ini mungkin benar pujian yang diberikan oleh media Sport Illustrated yang menyatakan bahwa “Krakauer menguraikan pengalamannya yang menakutkan yang akan membuat seorang pendaki gunung paling fanatik sekalipun akan mencariperlindungan di tepi pantai.”

Jon Krakauer yang menuliskan buku ini berharap, dengan menulis buku tersebut dapat mengenyahkan kejadian tersebut dari kehidupannya. Kejadian nyata yang menimpanya, bayangan-bayangan rekan perjalannya yang tewas dalam pendakian tersebut, terasa sangat mengguncang hidupnya. Walaupun akhirnya ia harus mengakui, bahwa menulis buku ini tidak membuatnya “hilang ingatan” terhadap kejadian tersebut. Krakauer harus pasrah mengakui bahwa tragedi Everest itu akan terus menghantui hidupnya. Seperti juga menghantui kita, setelah selesai membaca halaman terakhirnya.

Tinggalkan komentar