Pram, Sex, Revolusi dan Pemuda

Tak banyak yang tahu mungkin, dengan siapa Pramoedya Ananta Toer melakukan hubungan seks pertamakali. Pengalaman paling romantis itu justru dilakukannya bersama seorang noni bule. Kala itu, kata Pram, ia sedang berdinas di wilayah negeri kincir angin, Belanda. Pram yang datang dari kalangan proletar negeri jajahan Belanda, Hindia Belanda, jelas mengalami kultur shock disana. Sedemikian mabuknya ia pada pergaulan ala mener-mener negeri kincir angin tersebut. Hingga akhirnya sempat berpacar-pacaran, dengan seorang gadis bule di negeri yang terkenal dengan bunga tulip indahnya tersebut. Ala pergaulan bebas noni-noni Belanda yang kemudian membawa Pram untuk pertama kalinya merasakan hubungan seks.

”Karena hubungan seks itu, perasaan minder sebagai anak petani pada diri saya hilang seketika. Semua dari kita ternyata sama. Punya hak dan derajat yang sama juga sebagai manusia. Punya kemungkinan yang sama juga kalau memang kita punya keberanian,” katanya, pada cuplikan film mengenai dirinya yang di putar kembali di acara seminar ”Generasi Muda dalam Pemikiran Pramoedya Ananta Toer” yang di adakan FISIP UI, September 2006 lalu.

Perasaan persamaan itu tadi, yang kemudian terus mengejewantah dalam diri Pram. Menghilangkan paranoia-paranoianya pada keterbelakangan, kebodohan dan ketidakmampuannya, menjadi masa lalu. Menjadikannya revolusionis sejati, dalam dirinya yang masih belia.

Nilai keberanian juga kemudian terus mencuat dalam dirinya. Menurut pendapatnya keberanian merupakan satu kunci untuk perubahan. “Tanpa keberanian kita akan sama seperti ternak. Di giring kesana kemari. Di perlakukan seenaknya, atau bahkan mungkin disembelih sesuai keinginan saja,” papar Koesalah Ananta Toer, adik dari Pram, yang kebetulan hadir pada acara tersebut untuk menjelaskan pemikiran Pram mengenai pemuda.

Makna keberanian itu yang tampaknya minim terlihat oleh Pram, dari pemuda masa kini. Pemuda seperti takut untuk meninggalkan kenyamanan-kenyamanan. Keberanian menjadi blur dalam konteks perkelahian antar universitas, yang kerap terjadi kini. “Untuk para pemuda, Pram pernah meminta untuk terus memupuk keberanian. Karena itulah pangkal dari perubahan. Mulailah dari tidak lari dari masalah-masalah yang ada di hadapan kita,” tambah Koesalah lagi. “Oleh karena itu juga mengapa Pram memilih revolusi ketimbang reformasi, untuk perbaikan bangsa ini,” imbuh Koesalah berapi-api.

Revolusi

Kemudian bukan berarti pemuda harus bersenggama dengan bule dahulu, baru kemudian meraih kepercayaan diri. Namun, semangat revolusionis itu yang sepatutnya terambil dalam diri kita. Seperti juga yang diinginkan Pram, berulang kali dalam pendapat-pendapatnya mengenai pemuda Indonesia kini.

Meskipun terasa janggal, lantaran konteks revolusi yang terlanjur bermakna kekerasan. Sementara pemilihan kaidah reformasi dahulu, sebenarnya kalau mau diselusuri, merupakan pilihan paling bersahaja dari para aktivis penggeraknya. Dimana mereka mengambil pelajaran dari konsep perubahan sebelumnya. Reformasi cenderung lebih bersahabat dalam memaknai perubahan. Tak terbayangkan dikepala kita, berapa nyawa lagi harus melayang, seandainya paradigma revolusi yang dipilih oleh pemuda kita, kala terjadi insiden kenegaraan tahun 1998 lalu.

Namun reformasi dan revolusi pada alasnya tetaplah sama. Menginginkan perubahan. Keras atau lembutnya perubahan, kembali pada orang-orang yang menjalankannya. Seperti juga yang diungkapkan Koesalah berikutnya, mengenai apa pendapat Pram tentang revolusi seperti apa yang diinginkan.

Di kepala beberapa pemuda mengenai hal ini juga mungkin beragam. Namun kecenderungannya, pemuda-pemuda kita tidaklah menginginkan perubahan yang mengandung makna kekerasan. Eka Kurniawan, seorang sastrawan muda kita, lebih memilih revolusi seperti yang dilakukan Salvador Allende Gossen di Republik Chile dahulu. Dengan kemampuannya untuk merevolusi, Allende berhasil mereduksi pemikiran parlemen kala itu. Revolusi pemikiran itu juga, yang akhirnya memaksa suara mutlak untuk memilih dirinya sebagai presiden Chile tahun 1970.

Kini meskipun banyak pihak menganggap Pram telah mati. Bukan berarti pula pemikiran-pemikiran beliau mati. Salah satunya mengenai paham revolusi. Meskipun cenderung berbahaya bila salah dipahami. Namun perubahan tetaplah satu nilai penting, yang harus dilakukan pemuda negeri ini. Bukan hanya perkataan, namun juga perbuatan.

Tinggalkan komentar