Lembar Lama Tumbuhan Jawa

cover buku

Apa tumbuhan paling langka yang ada di Jawa? Pernah pertanyaan itu terlontar dari seorang keponakan saya. Sebuah pertanyaan mudah, yang jawabannya ternyata bikin garuk-garuk kepala. Apa pula jenis tumbuhan tersebut? Diantara beragam tumbuhan yang pernah kita lihat di tanah Jawa. Tapi pastinya tumbuhan itu, bukan barang yang gampang dilihat. Namanya saja langka, pasti sulit ditemukan. Lalu bagaimana mengetahuinya?

Buat saya yang sibuk dengan berbagai urusan perkotaan, jelas makin sulit menemukan jawaban pertanyaan awal tadi. Karena menemukan tanaman saja, sudah sulit di perkotaan. Ditambah dengan yang langka-langka pula. Lalu bagaimana memberikan jawaban untuk keponakan saya?

Membohong-bohongi sih pasti bisa saja. Tinggal sebutkan saja salah satu nama tumbuhan yang pernah saya tahu. Beri nama yang paling sulit, pastilah keponakan itu tinggal mengangguk-angguk sok mengerti.

Tapi itu namanya bohong, dan jelas bukan jalan keluar terbaik. Nanti akan menjalar pada kebohongan-kebohongan lainnya. Lalu harus bagaimana? Sementara si keponakan terus menunggu jawaban dengan mulut ternganga.

Untunglah ketika keringat dingin itu mulai mengalir. Saya teringat sebuah buku yang baru diberikan seorang teman saya. Judulnya Flora Pegunungan Jawa. Sebuah buku tebal dengan sampul hijau terang. Karangan seorang berbangsa Belanda bernama C.G.G.J. van Steenis.

Kemudian dengan perasaan agak janggal saya baca tiap-tiap bab yang ada dalam daftar isi. Terdapat bab-bab mengenai sejarah, iklim, kebakaran hutan, serta berbagai bahasan mengenai biologi bunga, zona elevasi dan hewan. Untung juga, pada bab 14 terdapat bahasan mengenai tumbuhan pegunungan yang umum dan langka. Langsung saya baca bab yang terdapat pada halaman 77 pada buku dengan kertas mengkilat ini. Senyum segera mengembang, ketika dengan teramat mudah saya menemukan jawaban pertanyaan dari keponakan saya, yang sempat membuat saya berkeringat dingin tadi.

Anda mau tahu juga jawabannya?

Ini jawabannya : “Kelangkaan itu beraneka ragam. Primula (42-4) sudah pasti merupakan spesies langka. Di Jawa Primula hanya dikenal di empat gunung. Namun, di tiga dari empat gunung tersebut, yaitu gunung Pangrango, Papandayan dan Iyang, Primula tumbuh luar biasa banyak ditempat-tempat yang cocok, sedangkan di gunung Sumbing Primula hanya tumbuh setempat.”

Primula yang Misterius

Dus, selesai sudah satu permasalahan saya hari itu. Dengan bahasa taktis, seperti gaya menulis pengarang buku ini, saya menutup pembahasan tumbuhan terlangka yang ada di Jawa dengan senyum puas.

Tak rugi ada buku ini. Padahal awalnya saya agak malas menerimanya. Terlalu teknis ilmiah menurut saya. Saat-saat sekarang ini, lebih baik membaca yang ringan-ringan saja. Sudah pusing rasanya kepala menerima berbagai masalah, eh ditambah pula harus membaca buku ilmiah. Apalagi lengkap dengan nama-nama rumit, khas berbahasa latin yang menjadi panduan membedakan jenis berbagai flora.

Namun melihat gunanya, sebelum malam saya sempatkan lagi melihat-lihat buku tersebut. Unik sebenarnya buku setebal 259 halaman ini. Benar kata Jenny A.Kartawinata, si penerjemah dan penyunting naskahnya, kalau buku ini memiliki sisi berbeda dari sekedar buku ilmiah semata. “Diuraikan dengan gaya bertutur yang santai, serta bantuan pelukis botani Kebon Raya Bogor waktu itu, almarhum Amir Hamzah dan Moehammad Toha, semua spesies tumbuhan yang dipaparkan ditampilkan dalam lukisan botani berwarna yang akurat dan seindah aslinya,” ceritanya, pada pertemuan kami di gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berapa waktu silam.

lujisan flora

sulung prasetyo
Jenis gambar flora yang ditampilkan dalam buku Flora di Jawa.

Pada halaman pertama tertera setidaknya ada 456 spesies tumbuhan ada dalam buku ini, serta dilengkapi juga dengan 57 gambar berwarna. Gambar-gambar itu juga yang mengenalkan saya pada bentuk Primula. Meskipun awalnya agak sulit mengerti tehnik mencari gambar, melalui indeks di samping nama jenis tumbuhan. Seperti pada Primula, yang bernomor indeks 42-4, seperti tak menunjukan petunjuk apapun selain halaman 42 atau gambar 42. Saya ambil pilihan pertama. Halaman 42 ternyata membahas masalah kebakaran dalam hutan. Tak ada satupun keterangan mengenai Primula ada didalamnya. Ada sedikit keterangan tentang Anaphalis, yang membuat saya terkenang pada pengalaman mendaki gunung. Awalnya saya pikir bunga ini yang menjadi paling langka di daratan Jawa. Karena sebegitu sakralnya bunga itu bagi kalangan pendaki. Kesan sulit mendapatkan, serta ketangguhan dalam bertahan hidup, membuat bunga tanaman ini memiliki posisi terhormat tersendiri. Namun ternyata, kemampuan bertahan hidup justru membuatnya berada di rata-rata gunung di Jawa. Sementara kelangkaan berarti minim berada di berbagai tempat.

Sebelum cenderung bertele-tele, halaman indeks di bagian belakang buku langsung saya buka. Tulisan Primula farinosa dan imperialis hanya menunjukan angka 42-4. Sudah pastilah kini, indeks tersebut menunjukan nomor gambar. Lembar gambar 42, langsung cepat ditemukan. Di sisi-sisi kiri dan kanan kotak gambar, terlihat nomor-nomor kecil. Mulai dari 1 sampai 5c. Gambar nomor 4, tak terlalu sulit terlihat. Sebuah tanaman dengan tangkai utama berwarna merah panjang. Bunganya yang berwarna kuning, terhubung dengan tangkai hijau.

Sejujurnya tak pernah ada dalam ingatan saya pernah melihatnya. Dalam penjelasan di halaman sebelahnya, Primula terbanyak dibahas dibandingkan empat jenis tanaman lainnya. Yang menarik, penjelasan mengenai keberadaan bunga di wilayah gunung Pangrango. Saya yang pernah mendaki gunung tersebut, mengingat-ngingat kembali. Karena mungkin saja pernah melihatnya. Kalimat-kalimat yang menjelaskan kemungkinan posisi tumbuhan berada, yaitu disekitar rawa dekat sungai kecil, tetap tak mengeluarkan gambar dalam otak saya. Bahkan ketika kemungkinan kedua lokasi tumbuh bunga, yakni gunung Papandayan dikemukakan, tetap tak ada sosok Primula pernah mengisi memori benak.

Dalam buku itu juga, Junghuhn – sang petualang peneliti pendaki gunung legendaris di Jawa – mengatakan pernah melihat tumbuhan ini di Pangrango. Ia lebih memilih bunga ini bernama Primula Imperialis, ketimbang Prolifera. Menurutnya tumbuhan tersebut banyak berada di tegal kecil dekat puncak, dengan beberapa tumbuhan yang terpencar di sekitar hutan berlumut yang tak lebat hingga 50 meter di bawah puncak.

Keterangan lain, Junghuhn juga menambahkan kalau pernah melihatnya kemudian, usai pembuatan jalan setapak di area Kandang Badak. Wilayah Kandang Badak sendiri merupakan daerah pelana antara Pangrango dan Gunung Gede, yang kemudian banyak dilewati secara teratur sampai sekarang. “Sepanjang jalan setapak yang mirip selokan ini, biji-biji terbawa air hujan ke bawah dan tumbuhan ini ditemukan dalam deretan sepanjang selokan tersebut. Terdapat juga tumbuh melimpah dekat gubuk di Lebak Saat (?),” analisa Steenis melalui pemikiran Junghuhn, dalam paragraph pembahasan.

Usai membaca itu semua, tetap saja otak bebal ini tak mengeluarkan ingatan. Apapun dan sedikitpun mengenai Primula. Bahkan ingatan-ingatan saya tentang daerah Kandang Badak, dan selokan-selokan kecilnya, tak pernah sedikitpun mengingatkan saya pernah  melihat bunga ini.

Proses pencarian menjadi makin menarik hati. Karena penasarannya, saya buka halaman foto-foto. Pikir saya, mungkin ada satu dua foto, yang sedikit banyak menjelaskan bentuk asli tanaman. Pada foto nomor 17, di halaman 83, terlihat batang tegak kecil primula terlihat. Batang-batang itu berkelompok dengan bonggol daun di bawahnya. Foto Primula yang ada di gambar ini berasal dari daerah Selonyeng di Pegunungan Iyang. Berada di ketinggian 2300 meter diatas permukaan laut (mdpl). Tingginya tak lebih dari 1,5 meter, urai pembahasan dalam lembar gambar 42.

Pada foto 25, terdapat gambar tegal Primula di Gunung Ipis, wilayah Gunung Papandayan. Menurut keterangan Docters van Leeuwen, foto tersebut diambil pada ketinggian 2235 mdpl, usai turun hujan. Gambar hitam putih itu tak memberikan secara tegas profil dari tumbuhan. Rumpun Primula terlihat samar bergerombol terkungkung tumbuhan besar di sekitarnya.

Sayang rasa penasaran itu, belum keseluruhan terobati. Karena perasaan belum pernah saya melihatnya. Namun mungkin itu juga yang diharapkan Steenis, bagi para pembacanya. Dalam kalimat-kalimat pada bab pendahuluan, Steenis secara tegas mengungkapkan maksud pembuatan buku sebagai pembuka jalan. Yang menurut saya, lebih mengena sebagai jawaban pertanyaan “Adakah kemungkinan untuk mempelajari sesuatu dari pendakian gunung?”

Gemercik Hijau Danau

Entah mengapa pula saya tertarik melihat-lihat tentang tumbuhan danau. Mungkin karena saya sering berpikir, kalau danau merupakan tempat terindah yang ada pada sebuah gunung. Gunung dengan danau merupakan bentuk sempurna dari pengharapan pada keindahan ketika mendakinya. Bukan puncak, yang terkadang lebih menampakan imaji keperkasaan. Puncak, adalah keindahan terbuka yang terbatas dinikmati. Namun danau di gunung, merupakan keindahan tersembunyi yang sebenarnya lebih banyak orang bisa menikmatinya.

Saya pikir Steenis juga merasakan hal itu. Dari pemaparan beberapa danau pegunungan yang disinggahinya, danau berawa di pegunungan Iyang, yang dikenal bernama Taman Hidup sampai kini, menjadi bahan bahasan yang terasa ‘indah’ bila memperhatikan kata-kata yang dituliskannya.

“Di gunung Iyang, yang terindah adalah Taman Hidup di atas Bermi. Ketika turun dari hutan yang tinggi dan berdiri ditepi danau, merupakan saat mempesona. Itik-itik berenang-renang di danau dan rusa berkeliaran dengan damai di tepi hutan di latar belakang. Ketika matahari terbenam, cahaya yang gemilang menyinari pucuk-pucuk pohon cemara yang menyelimuti lereng gunung,” tutur Profesor yang menamatkan dasar botani di Universitas Utrecht itu.

Beliau juga kemudian menderetkan berbagai jenis tumbuhan khas rawa danau, yang dibahas dalam bukunya tersebut. Ada 22 jenis nama latin yang dideretkan.

Pada kajian mengenai tumbuhan air terjun, Steenis menyimpulkan sebagai daerah yang dikelilingi hutan, namun tidak memiliki flora khusus. Dinding batuan tempat air tercurah turun hampir selalu dipenuhi vegetasi murni Elastoma dan Pilea. Dua jenis tumbuhan berwarna hijau yang penuh cairan. Dengan puitis Steenis menggambarkannya dengan kalimat: “kelompok dedaunan yang terus menerus tersentuh curahan air, hingga memantulkan cahaya matahari dalam warna-warna pelangi.”

Di dataran tinggi Dieng terdapat juga bentuk hubungan kausal antara tumbuhan dan budaya. Imaji itu tergambar pada gambar 20 yang berada di halaman 66. Pada gambar itu, di elevasi 2000 mdpl terdapat hasil karya manusia berbentuk boneka wayang dari jalinan tangkai bunga Xyris capensis varian schoenoides. Menurut Bunnemeijer, pada bulan Januari 1917, boneka wayang dari tangkai bungai Xyris itu, banyak dipersembahkan dekat candi Hindu.

boneka xyrus

sulung prasetyo
Boneka wayang dari tangkai bungai Xyris itu, banyak dipersembahkan dekat candi Hindu.

Ketika Junghuhn mengunjungi kawasan tinggi ini, ia menggambarkan kalau daerah itu hampir seluruhnya berselimutkan hutan, dengan danau-danau dan rawa-rawa yang sebagian besar dikelilingi hutan. Jadi, menurut Steenis mungkin sekali baru pada masa Hindu dibangun candi-candi dekat telaga Balekambang disana. Yang sekarang telah berganti menjadi ladang kentang dan kubis, padang rumput dan padang penggembalaan ternak.

Sejarah Panjang

Tak sah kiranya kalau membahas sebuah buku ikhtisar, tanpa menengok kajian sejarahnya.  Steenis dengan teguh menegaskan pondasi sejarah melalui pemahaman mengenai ilmu. “Pengetahuan yang terorganisir,” kata pria yang memiliki istri bernama Rietje van Steenis-Kruseman ini.

Dengan dasar itu ia memulai penalarannya mengenai sejarah pengumpulan pengetahuan tumbuhan di Jawa melalui nama Carl Pehr Thunberg. Berkat berbagai campur tangan orang Belanda yang berperan sebagai pelindungnya, bertahun-tahun (1772-1779) Thunberg menetap sebagai pecinta alam sekaligus dokter ahli bedah di Tanjung Harapan, Srilanka, Jawa dan Jepang.

Setelah dua kali Thunberg mengunjungi Jawa pada tahun 1777, ia kemudian juga dikenal sebagai botanis ilmiah pertama yang berkenalan dengan flora pegunungan di Jawa. Thunberg yang juga merupakan murid dari Linneaus, seorang ilmuwan tumbuhan terkenal dari Swedia, mengukuhkan karakter tersebut dengan keluarnya buku Florula Javanica pada tahun 1825. Tepat 50 tahun usai ia menghabiskan waktunya mengunjungi kawasan gunung Jawa, khususnya di Jawa Tengah dekat Semarang, antara lain Gunung Ungaran dan Salatiga, dan di Jawa barat di gunung Megamendung, di bawah Puncak pas, di gunung Gede dan di Cipanas.

Penelusuran data ilmiah dilanjutkan oleh seorang botanis Swedia lain, Claes Frederic Hornstedt. Ia merupakan murid dari Thunberg yang menjabat sebagai profesor botani di Uppsala-Swedia. Hornstedt tiba di Jawa kisaran tahun 1783-1784. Sayangnya meskipun banyak diketahui Hornstedt sering mengunjungi gunung Megamendung dan gunung Salak pada tahun 1783, tak ada satupun koleksi hasil penemuannya yang dapat ditemukan di museum Bergius Herbarium, di Stockholm.

Yang tak kalah menarik merupakan analisa data dari seorang ilmuwan Spanyol bernama Fransisco de Norona, yang tiba di Jawa melalui Manila pada tahun 1786. Kegiatan penjelajahannya yang berkisar di wilayah Priangan barat, termasuk gunung Patuha didalamnya, menghasilkan sebuah naskah besar sebanyak 111 gambar tumbuhan dalam medium cat air.  Kini hasil temuan itu masih disimpan di Museum Paris dan Inggris.

Penjelasan Steenis mengenai sejarah berlanjut pada berlabuhnya kapal ekspedisi Perancis, La Recherce pada tanggal 23 Oktober 1793 di Surabaya. Karena kurang harmonisnya hubungan Belanda dan Perancis, maka seluruh awak kapal kemudian ditahan. Van Overstraten, Gubernur Jenderal Belanda kala itu kemudian memanfaatkan salah seorang awak kapal bernama Louis Auguste Deschamps, untuk melaksanakan sebuah kajian tentang bahasa dan flora Jawa. Deschamps yang merupakan ahli bedah merangkap pecinta alam tak menolak kesempatan berharga tersebut. Dalam kurun waktu tiga tahun, antara 1795-1798 Deschamps terlihat sibuk menyelesaikan urusan tersebut. Dalam kurun waktu itu juga Deschamps menjelajah hampir semua gunung tinggi yang penting, seperti Ijen, Tengger, Lawu, Muria, merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Ciremai, Papandayan, Guntur, Tangkuban Perahu dan Gede. Hasilnya, 270 gambar dengan cat air berhasil dibuatnya. Sayangnya karya tersebut bernasib buruk, karena menjadi rebutan perang. Yang tersisa menurut Steenis hanyalah catatan harian dan sedikit gambar-gambar.

Penyelidikan mengenai flora lain yang cukup berharga dibuat Louis Theodore Le(s)chenault de la Tour, seorang botanis yang tergabung dalam ekspedisi Perancis yang lain, Le Naturaliste dan Le Geographie. Lechenault yang kemudian mengusulkan nama ilmiah Engelhardia untuk tumbuhan bernama lokal ki Hujan. Hingga kini naskah Lechenault tentang tumbuhan Jawa masih tersimpan rapi dalam arsip herbarium di Perancis.

Ketika negara Inggris kemudian menguasai Jawa, pola penelitian terhadap flora tak berhenti begitu saja. Gubernur Jenderal Raffles, kemudian memerintahkan Thomas Horsfield untuk melanjutkan upaya tersebut. Koleksi 16 gunung, termasuk data tumbuhan di gunung Karang berhasil dilakukannya. Tahun 1819 Horsfield berlayar kembali ke Inggris dengan membawa semua koleksi herbarium miliknya, dan kemudian disimpan di The East India Company Museum yang terus dikelolanya kemudian. Sayangnya bukunya yang berjudul Plantae Javanicae Rarories kurang mendapat perhatian khalayak.

Tahun 1817, Caspar Georg Carl Reinwardt menjadi tokoh pertama yang mengelola berdirinya Kebon Raya di kota Bogor. Lembaga ini kemudian menjadi wadah yang sangat baik untuk makin mendalami flora di Jawa.

Setelah mendirikan Kebun Raya, pemerintah Belanda membentuk juga de Natuurkundige Commissie (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam), yang anggotanya ditugasi melaksanakan penelitian ilmiah tentang tumbuhan dan hewan, geologi dan geografi, dengan tujuan mengungkapkan kekayaan alam nusantara. Dua orang muda usia menjadi anggota pertamanya, Heinrich Kuhl dan Coenraad van Hasselt. Mereka beroperasi di Jawa Barat, mendaki gunung Karang, Pulasari, Halimun, Salak dan Gede-Pangrango. Laporan mereka kemudian yang menjadi bukti adanya sejumlah sarang badak di daerah sekitar puncak Gede-Pangrango. Mungkin karena laporan itu, kemudian daerah pelana kedua gunung tersebut dikenal dengan nama Kandang Badak sampai sekarang. Namun tampaknya Kuhl dan van Hasselt bekerja terlalu keras, sehingga mengabaikan diri sendiri dan jatuh sakit. Kemudian secara berturut-turut mereka meninggal, karena sakit tersebut. Untuk mengenang jasa kedua rekan muda tersebut, diabadikan dua nama ilmiah pada bunga Aggrek Dendrobium, yaitu Dendrobium hasseltii dan D. kuhlii. Kemudian untuk menggenapi penghargaan tersebut, gabungan kedua nama peneliti itu menjadi sebutan untuk sebuah marga anggrek Jawa, Kuhlhasseltia.

Blume. Carl Ludwig Blume tiba di Jawa tahun 1818. Peneliti flora tersohor itu segera diangkat menjadi wakil direktur Kebun Raya Bogor. Tak berapa lama, ia menggantikan Reinwardt sebagai direktur. Pertelaahannya pada flora di Jawa menghasilkan buku Bijdragen tot de Flora van Nederlansch Indie dan Flora Javae, yang kemudian dianggap karya paling luar biasa dari beliau.

Namun membicarakan flora di Jawa, tak akan lengkap bila tak membawa nama yang satu ini. Franz Wilhelm Junghuhn. Seorang pria bersemangat luar biasa, memiliki daya kerja yang teramat besar, berwawasan luas dan seorang individualis yang keras. Bukunya yang berjudul Topographische und Naturwissenschaftliche Reisen durch Java, dirilis tahun 1845. Menyajikan gambaran jelas tentang vegetasi pegunungan. Buku berikutnya yang diberi nama Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en inwendige bouw, makin menunjukan performa instruktif gaya Junghuhn. Pertelaahan fisiognomi lengkap dengan lansekap dan vegetasi, serta pengamatan geologi, fisiografi dan paleontologinya, jelas bisa disejajarkan dengan karya Humboldt di Amerika Selatan.

“Jelas sekali saya ingat hutan-hutan,” tulis Junghuhn di Leiden tahun 1851. “Yang disana berhiaskan hijau abadi, beribu bunga yang harumnya tak pernah pudar. Telinga batin saya mendengar desir angin laut menerpa rumpun pisang dan pucuk-pucuk nyiur. Saya rasakan gemuruh air terjun tercurah dari ketinggian di jantung negeri itu, seakan-akan saya sedang menghirup udara pagi yang sejuk. Seakan-akan saya sedang berjalan-jalan di depan rumah-rumah orang Jawa yang ramah, ketika kesunyian berat masih menghuni hutan-hutan primer sekeliling saya. Tinggi di udara diatas saya sekelompok kalong mengepakan sayap terbang pulang ke tempat kediaman siang hari mereka. Perlahan-lahan kehidupan dan gerak mulai terjaga dalam kanopi hutan. Burung merak berteriak nyaring, kera melanjutkan permainan mereka yang penuh gerak dan mengawali gema pegunungan dengan seruan pagi mereka, beribu burung mulai berkicau. Dan bahkan sebelum matahari mewarnai ufuk timur, puncak gunung yang megah nun jauh disana telah berpendar dalam warna keemasan dan nila, dari ketinggiannya bagaikan menatap saya seperti seorang kawan lama. Rasa rindu saya menggumpal dan dengan penuh damba saya nantikan datangnya hari saat saya kembali berkata: Salam bagimu, wahai gunung-gunung!”

Ucapan-ucapan itu sedemikian terdengar berisi berasal dari pengalaman mendalamnya. Hingga sempat memupuskan semangat para peneliti flora setelah beliau, dan memilih menganggap subyek tersebut sudah habis ditangani oleh Junghuhn. Maka wajar bila peneliti generasi berikutnya lebih memilih tehnik mendalami sebuah spesies tertentu, atau merupakan kumpulan dari satu area secara menyeluruh. Ini terbukti dari pemikiran Melchior Treub, pada tahun 1890-an. Dimana ia yang waktu itu yang menjabat sebagai direktur Kebun Raya berupaya menyusun Flore de Buitenzorg. Sebuah tema penelitian yang mencakup flora setempat. Mulai dari daerah mangrove Jakarta hingga ke puncak gunung Gede-Pangrango. Sayang gagasan Treub ini tak pernah terlaksana.

Dari keseluruhan pemahaman itu, kemudian mengantarkan saya untuk mengakui betapa berharganya buku ini. Sebuah kajian penelitian hasil pengamatan mendalam, yang dikumpulkan dalam pemahaman sempurna mengenai kehidupan flora di Jawa. Buat saya yang juga seorang pendaki gunung jelas teramat berguna. Sama bergunanya, saat saya dianggap mengambil posisi sebagai paman, yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ganjil khas ingin tahu anak seusia keponakan saya.

Tinggalkan komentar