RPP Gambut Hanya Pikirkan Eksploitasi

Rencana pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Ekosistem Gambut menimbulkan polemik bagi kalangan pemerhati lingkungan. RPP tersebut dianggap tak memenuhi mandat dari Undang-Undang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). “RPP ini lebih berorientasi kepada urusan pemanfaatan lingkungan hidup, bukan perlindungan,” tegas Yustisia Rahman, Peneliti Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) dalam diskusi menganalisa RPP Ekosistem Gambut yang digelar Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, di Jakarta, Senin (10/3/2014).

Ia menyebutkan ada berbagai ketentuan dalam RPP Gambut saling bertentangan dengna mandat UUPPLH. Seperti pasal 35 dalam RPP Gambut yang bertentangan dengan Pasal 98 dan Pasal 99 UUPPLH. “Sebab pelanggaran terhadap kriteria baku kerusakan yang, dalam UUPPLH, dipandang sebagai delik pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana, justru hanya akan dikenakan sanksi administratif dalam RPP ini,” ucapnya.

Tidak hanya itu, Pasal 22 RPP tersebut juga membedakan ketentuan kriteria baku kerusakan ekosistem berdasarkan fungsi, gambut lindung dan gambut budidaya. “Padahal ini sangat tidak rasional sebab gambut adalah satu kesatuan ekoregion. Hal ini justru mentolerir perusakan lahan gambut,” tegasnya.

Yuyun Indradi dari Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa munculnya RPP Gambut ini tidak tepat. Saat ini, kata dia, untuk melakukan pemetaan lahan gambut saja masih terdapat perdebatan soal metodologi dan belum tuntas.

“RPP ini, lebih baik menunggu kesepakatan harmonisasi peta yang sudah dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial. Sehingga kita tahu, mana lahan gambut yang harus dilindungi dan harus direstorasi serta mana konsesi yang harus direview izinnya,” ucap Yuyun.

Kebakaran Gambut

Sementara itu Arie Rompas, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah menyatakan perlunya dilakukan upaya rehabilitasi, sebagai pencegahan pengulangan kebakaran.

“Karakter kebakaran hutan, biasanya terjadi di titik api yang lama. Rehabilitasi dari wilayah-wilayah tersebut diperlukan sebagai upaya pencegahan,” kata Rompas, pada kesempatan berbeda.

Upaya rehabilitasi tersebut menjadi data dasar pemerintah mengenai wilayah titik api, untuk rehabilitasi. Kalau kebakaran dulu terjadi karena pengeringan lahan gambut, maka harus dibuat basah kembali, tambah Rompas.

“Selain itu harus dilakukan juga upaya menghentikan konversi skala besar perkebunan sawit, karena sampai saat ini pemerintah masih kasih ijin buka lahan di gambut,” ujar Rompas.

Saat ini wilayah Kalimantan Tengah memang belum mengalami kebakaran dominant. Namun diperkirakan dalam beberapa bulan ke depan, daerah seperti Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur dan kota Palangka Raya bisa memiliki banyak titik api. Puncaknya diperkirakan pada bulan Juni, tiap tahunnya.

Untuk diketahui, saat ini hampir 40 persen ekosistem gambut telah diberikan izin untuk dieksploitasi, dan tersisa sekitar 60 persen terlindungi, itu pun karena berlokasi di wilayah konservasi, lindung dan moratorium (PIPIB 5). Kemudian, berdasarkan pemantauan lokasi sebaran titik api selama Januari sampai Maret 2014, ditemukan bahwa 75 persen kebakaran terjadi di lahan gambut.

Tinggalkan komentar